Sugeng Rawuh, Wilujeng Sumping,, Selamat Datang

Dengan Menyebut Asma Alloh Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang...

Sabtu, 30 Oktober 2010

Belajar Inklusi Pada Laskar Pelangi

Ketika kita mendengar Laskar Pelangi bayangan yang ada pada fikiran kita adalah keindahan alam di Indonesia bagian Barat dan perjuangan seorang anak untuk belajar. Bukan hanya itu saja yang kita dapatkan, namun banyak, dan sangat banyak, salah satunya yaitu pendidikan Inklusi yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah.
Saat ini di Indonesia sedang gencar-gencarnya diadakan seminar ataupun sosialisasi tentang pendidikan inklusi. Namun pernahkah terfikir oleh Anda, apakah dahulu Bu Muslimah seorang gadis yang mengabdikan dirinya pada sekolah Muhammadiyah harus mengikuti seminar, sosialisasi ataupun pelatuhan untuk menerapkan system belajar yang kini disebut dengan sekolah inklusi itu? Jawabannya jelas TIDAK.
Pernah pada suatu pagi, saya mendapatkan informasi dari seorang sahabat yang dia pun mendapatkan fakta itu dari seorang temannya yang sedang melakukan praktek mengajar pada sebuah sekolah dasar. Pada papan nama Sekolah Dasar tersebut tertulis SEKOLAH INKLUSI persis dibawah nama sekolah itu. Karena kawan sahabat saya itu sedang melakukan praktek mengajar disana secara otomatis dalam kesehariannya itu tentunya tak lepas dari lingkungan sekolah tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimana sisi dari label inklusi yang dituliskan besar-besar pada papan nama?
Bukankah yang disebut dengan sekolah inklusi itu sekolah yang ramah pada peserta didik terutama bagi mereka peserta didik yang membutuhkan pelayanan khusus? Namun sejauh ini dia tidak menemukan yang disebut dengan ABK disekolah itu, lalu apa maksud dari label sekolah Inklusi yang dipajang besar-besar dipapan nama sekolah tersebut?
Hingga pada suatu hari dia mendapatkan jawaban yang dia dapat dari guru setempat tentang asal usul label inklusi yang menempel pada sekolah itu. Ada seorang anak yang mengalami gangguan emosi (Tunalaras) yang bersekolah disitu. guru-guru disekolah itu memberikan label bahwa anak itu adalah Tunalaras tanpa adanya dasar yang kuat baik itu hasil pemeriksaan psykolog ataupun yang tim medis. Sacara tidak langsung, sekolah itu mencantumkan nama sekolah inklusi hanya untuk mendapat kucuran dana pemabangunan yang lebih kesekolah.
Inikah yang disebut pendidikan untuk peradaban yang lebih baik jika pendidiknya pun hanya mementingkan rupiah demi kebutuhan dapurnya?
Kita kembali pada Bu Muslimah dengan sekolah Muhammadiyahnya. Disekolah yang dianggap miskin pada era itu tidak hanya terdapat siswa dengan IQ dibawah rata-rta ( retardasi mental) saja namun siswa dengan IQ diatas rta-rata ( anak berbakat) juga ada dikelas itu. Dengan insting dan naluri gurunya tanpa harus mengikuti seminar dan pelatihan yang menghabiskan uang ratusan ribu, bliau berinisiatif untuk membedakan rapor Harun waktu itu dengan kawan sekelasnya yang lain. Rapor dan kurikulum belajar Harun disesuikan dengan tingkat IQ dan kemampuannya tanpa harus membedakan kelasnya dengan Lintang yang yang berbakat ataupun yang lainnya. Selain itu gurunya pun tidak meminta dana lebih untuk semua itu, dengan modal ikhlas karena Allah ingin mengabdikan diri pada bangsa untuk mencerdaskan bangsa dengan apik Bu Muslimah melalukan itu semuanya. Bukankah ini yang disebut dengan sekolah inklusi?
Memang realita dilapangan, kebanyakan sekolah inklusi berawal dari sekolah miskin ataupun sekolah swasta kampung yang bagi kebanyakan masyarakat adalah sekolah buangan. Tidak mengherankankan mudah untuk menemukan anak dengan kecerdasan diatas rata-rata pada sekolah favorit bertaraf standar nasional ataupun internasional, dengan segala fasilitas dan kelebihan yang ada sangat tidak mungkin siswanya akan tergerus oleh arus globalisasi. Namun maukah sekolah yang dirinya mendapat label sekolah standar nasional ataupun internasional menerima siswa dengan kebutuhan khusus dan menyandang gelar satu lagi dibelakang nama besar sekolahnya itu dengan nama SEKOLAH INKLUSI?